Powered By Blogger

Rabu, 26 Juni 2013

BENCANA, KESALAHAN KULTURAL DAN KONSERVASI LINGKUNGAN

Alam memang telah kita rusak tanpa belas kasihan. Penebangan hutan atau pembalakan liar (Illegal Logging), penambangan yang tidak mengindahkan kelestarian alam, penghancuran situs budaya untuk pembangunan berbagai mega mall dan berbagai tindakan manusia yang tidak lagi mengindahkan nilai-nilai sakral kultural dari alam.

Pergeseran nilai dan moralitas kepada alam, begitu instannya secepat gempa menghancurkan berbagai bangunan. Mungkin ada benarnya pendapat pakar kebudayaan A.J Toynbee, bahwa pergeseran ini merupakan imbas falsafah hidup antroposentrisme barat yang mulai menjalar dalam denyut nadi masyarakat kita.

Alam layaknya piranti mesin, mati, dan tak memiliki nilai spiritual kultural apapun. Selain tu, budaya hedonisme dan kapitalisme yang diagungkan, telah merenggut, menguras habis alam ini demi kepuasan nafsu personal.


Mitos Kultural dan Kepemimpinan Bangsa
Bagi suku bangsa Jawa, bencana dan kerusakan alam yang terjadi saat ini, sering dimaknai sebagai zaman "goro-goro" -sebuah fenomena alam dan masyarakat yang amat kritis, bencana alam dan kejadian kacau-balau yang serba tidak menentu. Goro-goro sebagai pertanda akan adanya perubahan yang dibawa seorang pemimpin yang disebut "satria piningit" atau ratu adil. Ratu adil ini digambarkan memiliki kepribadian yang luhur, pilih tanding, manajemen kepemimpinan yang profesional serta digdaya.

Mitos satria piningit atau ratu adil, terbukti mampu memberikan harapan sekaligus semangat "elan vital" bagi masayarakat Jawa menjalani berbagai penderitaan. Jika benar saat ini negeri kita sedang memasuki zaman goro-goro, mungkinkah selanjutnya akan tiba zaman dan pemimpin yang disebut ratu adil ? Nampaknya, pemerintah Indonesia sejak zaman pra-kemerdekaan hingga sekarang dengan plus minusnya belum ada yang merepresentasikan sosok ratu adil tersebut. Misalkan Sukarno dengan ciri khasnya yang tegas, radikal, merakyat serta nasionalis. Tetapi, Sukarno memiliki kelemahan yaitu kurang memperhatikan aspirasi rakyat serta memerintah dengan menuruti kemauannya sendiri. Demikian halnya dengan Suharto. Meskipun gaya kepemimpinan manajemen birokrasi yang perfeksionis, sempat menghantarkannya sebagai "Raja Kecil" di Asia selama 32 tahun, namun sikap arogansi pemerintahannya yang sarat KKN, menjadi aib dan menjatuhkannya dalam kenistaan. Sama halnya dengan pemerintah era-reformasi mulai dari Habibi, Gus Dur dan Megawati, "terlalu lemah" dan lamban manajerial dalam menjalankan roda pemerintahan. Susilo Banbang Yudhoyono (SBY)-pun yang dahulu dianggap sebagai "Ratu Adil", tidak ada bedanya dengan pendahulunya, manajemen pemerintahan yang semrawut, kebijakan yang plin-plan dan bencana yang sambung-menyambung selama kepemimpinannya.

Keberadaan sosok ratu adil dengan segala kedigdayaannya sudah menjadi perbincangan yang unik di kalangan masyarakat jawa dari masa-ke masa. Meskipun sejatinya sosok ratu adil ini hanya merupakan fenomena kultural yang imaginatif, tetapi mampu membangkitkan masyarakat jawa dari penderitaan dan penjajahan.

Fenomena kultural yang spesifik inilah yang semestinya dimanfaatkan untuk proses rekonstruksi atau slogan jogja bangkit. Selain itu, sosok Sultan Hamangku Buwono yang masih dianggap sebagai penjaga kebudayaan jawa, figur panutan, teladan dan pengayom, konsep gayut pada manunggaling kawula gusti merupakan aset kultural yang semestinya juga dimanfaatkan guna menata kembali peradaban Yogyakarta menjadi daerah yang maju dan memiliki keistimewaan dibandingkan dengan daerah lain.

Kekayaan Kultural Ramah Lingkungan
Nenek moyang kita, sebenarnya sangat cerdas memelihara alam lewat berbagai mitos. Mereka menuangkan berbagai nasihat atau larangan dalam bentuk simbol-simbol berbasis kultural. Penataan desa adat masyarakat Bali yang bertumpu pada pembagian tiga lokasi (tri mandala) misalnya, merupakan pemanfaatan alokasi ruang hidup yang bersumber pada keharmonisan hidup. Satu sistem norma dan praktis penempatan kawasan disakralkan serta unit pendukungnya (Budihardjo, 1986).

Penataan keraton Yogyakarta juga merupakan salah satu upaya pemanfaatan ruang yang bertumpu pada konsep kosmologis, sebagai cerminan kedudukan diri manusia (mikrokosmos) dalam konstalasi mikrokosmos. Bangunan Keraton yang menghabiskan area 14 ribu meter per segi, termasuk alun-alun, pohon, bagunan, paviliun terbuka, tembok, dan pintu gerbang, selain kaya filosofis sebagai simbol perjalanan hidup manusia dari kelahiran, anak-anak, dewasa, menikah hingga akhirnya meninggal dunia, sejatinya juga bernilai konservasi lingkungan.

Keberadaan masjid patok negara dengan posisi empat penjuru angin dengan pusatnya Masjid Agung Kraton Yogyakarta merupakan wujud rekayasa pendistribusian wewenang, pelayanan dan pengembangan. Lima posisi yang saling menyatu dengan landasan filosofis dalam tata ruang serta bangunan.

Dalam konsep keraton juga diberikan penghargaan terhadap kawasan pegunungan sebagai lambang utpati (kelahiran), dataran lambang sthiti (tumbuh) dan laut sebagai pralina (akhir) terhadap segala yang ada. Dengan menempatkan gunung Merapi pada posisi sakral mengandung pesan bahwa pada zona tersebut harus ekstra hati-hati. Dikaitkan dengan konsep pengelolaan lingkungan kekinian, zone tersebut diperlakukan sebagai kawasan cagar alam atau kawasan lindung, karena kawasan tersebut memang rentan terhadap perlakuan aktivitas manusia. Kawasan tersebut merupakan kawasan lindung sumber air dan keanekaragaman hayati.

Ada struktur fungsi baku yang terkandung dalam konsep tersebut, yaitu khayangan melindungi pawongan, pawongan melindungi palemahan. Bahasa lain, menurut keraton Yogyakarta yang atas harus menjadi pelindung bawahannya (Dradjat Suhardjo : 131-132)

Konservasi lingkungan dalam aspek hayati diwujudkan keraton dengan menanam pepohonan. Selain berfungsi sebagai jalur hijau (green belt) tanaman-tanaman tersebut juga memiliki makna filosofis yang dalam misalnya; pohon asem (tamarindus indica) dan pohon tanjung (mimisops alegi) ditanam sepanjang jalan dari kampung Mijen menuju gerbang keraton bagian selatan. Jenis pohon ini menggambarkan proses kelahiran sampai pada fase anak-anak.

Tanaman asem yang tak lain bermakna nengsemaken, merupakan gambaran fase anak-anak yang masih menyenangkan orang tuannya. Pada fase ini anak-anak harus diberi spirit, bimbingan, dorongan serta perlu sanjungan yang diwujudkan tanaman tanjung (sanjung-sanjung). Tanaman asem ini dalam konservasi lingkungan berfungsi sebagai tanaman penyerap unsur atau bahan timbal. Sementara tanaman tanjung berfungsi menyerap debu, menyerap gas karbon dioksida (CO2). Selain itu, tanaman ini banyak mengeluarkan gas O2 yang sangat dibutuhkan oleh manusia. Selanjutnya sepasang pohon beringin (ficus benyamina) yang ditanam di alun-alun selatan disebut wok berasal dari kata brewok sebagai simbol pubertas laki-laki.

Sekeliling alun-alun ditanami pohon mangga kweni (magnifera odoreta) dan pakel (mangifera foerida) yang bermakna anak sudah mulai menginjak usia dewasa yang ditandai anak sudah wani (berani) pada lawan jenisnya. Pohon gayam (inocarpus edulis forst) gardu istirahat (tratag) dekat siti hinggil sebagai lambang keindahan serta kesan yang dalam pada saat sepasang kekasih mulai berkenalan dan memadu kasih.

Pohon gayam dalam konservasi lingkungan berfungsi sebagai penjernih air. Pohon mangga cepora (magifera indica cempora) yang berbunga halus dan soka (ixora coccinea) merah dan putih yang ditanam di sekitar siti hinggil sebagai lambang pertemuan jodoh. Selanjutnya pohon kepel (stelachocarpus burahol), pelem (magifera), kelapa gading (cocos nucifera L) dan jambu dersana (syzgium malaccense L) yang ditanam di halaman gedung kemandungan yang melambangkan temanten putri sedang mengandung, di mana pada masa-masa tersebut dalam keluarga sudah terjadi kebulatan tekad (kempel), mau berikhtiar (gelem) dan penuh kasih sayang (sudarsana).

Kelapa gading yang berwarna kuning bersih, sebagai harapan mempunyai anak yang bersih dan sehat. Kelapa muda (cengkir) gading juga digunakan sebagai acara peringatan tujuh bulan mengandung (mitoni), di mana cengkir gading sebagai simbol anak yang dilahirkan.

Tata lingkungan fisik keraton dalam masa kini ternyata masih gayut dengan model-model tata ruang yang digunakan, yang memuat unsur-unsur institusi, perumahan, pusat perdagangan, jalur transportasi (transportation corridor) ruang terbuka dan jalur hijau.

Sejalan dengan perkembangan zaman globalisasi, masyarakat dan penguasa perlahan-lahan tak lagi mengindahkan berbagai mitos tersebut. Tak ayal lagi, petilasan dan pesanggrahan digusur guna pembangunan mega mall, dasar alun-alun hendak dijadikan sebagai lahan parkir, gunung Merapi dijadikan tempat rekreasi dan sarana mengumbar nafsu kebejatan manusia, sementara laut dijadikan pembuangan limbah. Pada akhirnya, alam telah bosan dengan segala tingkah kita dan manusia-pun harus membayar mahal kemurkaan alam.

Segalanya belum terlambat asalkan kita mau berubah. Kesadaran masyarakat terhadap budaya beserta kearifan lokalnya, harus segera diwujudkan. Tidak hanya sebatas kesadaran kognitif saja, tetapi menjadi semacam tata-norma dasar dalam memperlakukan alam beserta isinya. Pemeliharaan berbagai mitos, sejatinya memberikan kesadaran akan keterbatasan, kelemahan dan kebodohan manusia dibandingkan dengan kekuasaan sang pencipta.

Pemeliharaan mitos sesungguhnya juga merupakan wujud pemeliharaan alam secara kultural. Musibah memang tidak akan pernah berakhir selama kehidupan manusia masih berjalan. Kadang bermakna positif sebagai cobaan mental umat manusia, tetapi kadang juga bermakna negatif sebagai azab (hukuman) bagi manusia yang memperturutkan nafsu angkara murka. Menjadi pelajaran bagi kita menyikapi musibah secara arif dan bijaksana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar